Dema KM Fisipol UGM

Kasus penyerangan gereja dan tempat ibadah di Yogayakarta, deklarasi anti golongan tertentu di ruang-ruang publik, dan hadirnya kegiatan yang menolak keberagaman menjadi permasalahan yang patut dicermati saat ini. Dalam catatan The Wahid Institute, terdapat 106 kasus intoleransi dan diskriminasi yang dilakukan oleh aktor negara dan 139 kasus oleh aktor non-negara sepanjang tahun 2013 dengan dominasi kasus mengenai penyegelan, pemaksaan, atau larangan terhadap tata cara, sistem, dan teknis pelaksanaan ibadah dari beberapa keyakinan.[1] Lebih parah lagi, dalam data yang dimiliki oleh Setara Institute, terdapat lebih dari 500 kasus peristiwa dan tindakan intoleransi sepanjang tahun 2013 di seluruh wilayah Indonesia.[2] Kondisi ini tentu saja mengkhawatirkan bagi masa depan masyarakat, negara, dan keberagaman di negeri kita. Robert Dahl mengatakan bahwa konflik golongan dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan gagalnya sistem demokrasi dalam sebuah negara.[3] Konflik itu dapat muncul karena minimnya rasa toleransi; keberagaman yang seharusnya dihargai dan dijunjung tinggi hanya dijadikan kacang atom yang enak dimakan saat nonton bola. Apalagi ketika Portugal dan Spanyol kalah.

Intoleransi sendiri memiliki pengertian yang sangat luas, mencakup prasangka negatif bermotif keyakinan, afiliasi, atau praktek ras dan keagamaan tertentu, baik terhadap individu maupun kelompok. Prasangka negatif ini sewaktu-waktu dapat menjelma menjadi sebuah aksi intimidasi atau kekerasan bermotif pengabaian hak seseorang atau kelompok dalam menjalankan ibadahnya dan pengabaian atas hak-hak fundamental pemeluk agama.[4] Intoleransi tidak hanya semata-mata mengenai ‘hasil’, tapi juga berbagai gejala yang dapat dideteksi dalam bentuk tindakan tertentu; bahasa, stereotip, mengolok-olok, buruk sangka, pengambinghitaman, diskriminasi, pengabaian, pelecehan, gertakan, pengusiran, penindasan, segregasi, dan hal-hal lainnya yang dapat merepresi kebebasan seseorang tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Dalam arti lain, intoleransi dapat dimulai dari pola pikir dan cara pandang seseorang terhadap suatu hal; dari sebuah niat yang mungkin secara tidak sadar terbesit dan sebuah keinginan untuk menilai seseorang secara utuh tanpa adanya klarifikasi yang akurat. Menurut Bruce A. Robinson dalam tulisan yang diterbitkan oleh Ontario Consultants on Religious Tolerance, intoleransi dalam beragama bisa pula diidentifikasi dengan penyebaran informasi yang salah, penyebaran kebencian terhadap suatu kelompok, meremehkan kelompok iman tertentu, pembatasan HAM anggota suatu kelompok, mencoba untuk memaksa keyakinan dan praktik keagamaan kepada orang lain, mendevaluasi suatu agama tidak berharga, serta menghambat kebebasan orang lain untuk mengubah kepercayaan mereka.[5] Dengan memaknai dimensi dari sebuah peluang atau gerak-gerik intoleransi, kita dapat menemukan bahwa ia ternyata sangat dekat dengan pikiran dan perilaku hidup kita sehari-hari.

Negara dan Intoleransi

Banyaknya permasalahan intoleransi di Indonesia menggambarkan tiga kondisi dasar: pertama, negara gagal melindungi warganegaranya; kedua, tidak adanya sarana yang memadai untuk mengatur perbedaan; dan ketiga, menguatnya eksklusivitas golongan. Tornquist menggambarkan tiga kondisi tersebut dalam skema dibawah ini:

(dikutip dari Olle Tornquist, dalam AE Priyono, “Nalar Fundamentalisme Agama di Ruang Publik”, Agama dan Negara, Jurnal Indoprogress, edusi 1 September 2011, hal. 72)

Menurut Tornquist, ketidakmampuan negara dalam membangun hubungan dengan masyarakatnya ’memaksa’ rakyat untuk mencari jalur-jalur lain yang dianggap mampu menjamin keberadaannya. Dalam skema diatas, jalur-jalur lain yang menguat adalah jalur-jalur pemilik modal dengan kekuatan bisnis mereka dan jalur-jalur komunal[6] dengan nilai-nilai fundamentalisme agama yang dibawanya.[7] Padahal, penguatan hubungan komunal akan memicu eksklusivitas identitas komunal tersebut—yang menurut Varshney dapat menciptakan potensi konflik antar agama dan golongan.[8] Lalu apa yang harus dilakukan?

Pemilu Presiden dan Intoleransi

Jangan lupa, sebentar lagi kita akan memilih calon pemimpin bangsa ini, dan bolehlah kita mengharapakan mereka untuk mampu menyelesaikan permasalahan intoleransi yang masih marak di kanan-kiri kita. Menurut Tornquist, setidaknya ada tiga cara untuk menyelesaikannya: (1) penguatan negara, (2) penguatan badan-badan representatif,[9] dan (3) kontrol terhadap ikatan-ikatan komunal dan bisnis.[10] Dalam penelitian Varshney, kontrol terhadap ikatan komunal diciptakan melalui dialog-dialog lintas golongan (agama, etnis, ras) dan pembangunan hubungan formal yang mengikat berbagai macam kepentingan kelompok komunal.[11] Lalu sejauh mana capres dan cawapres kita menerapkan hal ini dalam visi-misinya? Mari kita lihat bersama.

Pasangan Prabowo-Hatta, selanjutnya disebut sebagai “Pasangan Ini” menyebut visi-misinya sebagai “Agenda dan Program Nyata untuk Menyelamatkan Bangsa”,[12] dengan delapan agenda pokoknya. Terlepas dari manifesto Gerindra terkait pemurnian agama yang menuai polemik beberapa waktu lalu, agenda penyelamatan bangsa ini cukup menjajikan, tapi sayangnya hanya ada dua kalimat panjang yang mengungkit soal toleransi dan hubungan komunal dalam hubungan antara negara dan warga negara. Kalimat pertama terdapat dalam agenda ke-IV, nomor 1, yang berbunyi:  

“Memperkuat karakter bangsa yang berkepribadian Pancasila, menjunjung tinggi sifat jujur, disiplin, patuh terhadap hukum, toleransi terhadap perbedaan suku, agama, dan ras, menghargai budaya bangsa melalui pendidikan Pancasila, kebangsaan dan budi pekerti”.

Dan kalimat kedua terdapat dalam agenda ke-VIII, nomor 1, yang berbunyi:

“Melindungi rakyat dari berbagai bentuk diskriminasi, gangguan, ancaman, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, sesuai dengan sila-sila Pancasila dan UUD 1945”.

Selain dua kalimat panjang ini, Pasangan Ini dalam debat capres edisi pertama sempat menyinggung isu diskriminasi dan toleransi, dimana—kurang lebih—mereka berusaha mengurangi diskriminasi dan intoleransi dengan pendidikan (sedang mencari pidato-pidato lain).

Secara tekstual, kita dapat melihat Pasangan Ini menyediakan kerangka yang kurang spesifik dan komprehensif terkait masalah toleransi. Visi-misi ini tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait, kepribadian Pancasila seperti apa yang diinginkan? Mengapa kepribadian Pancasila yang penting? Bagaimana wujud dan sarana pendidikan yang dimaksudkan untuk membentuk kepribadian Pancasila ini? Sejauh mana penerapan ini dapat menjamin adanya toleransi beragama?

Kegagalan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut menyulitkan kami untuk menganalisis lebih jauh kebijakan seperti apa yang nantinya diterapkan terkait masalah intoleransi. Dalam pandangan kami, ada dua kemungkinan yang dapat muncul sebagai perdebatan, mengapa dalam “Agenda Penyelamat Bangsa”-nya Pasangan Ini tidak memiliki gagasasan yang komprehensif. Dugaan pertama, Pasangan Ini gagal dalam melihat isu-isu intoleransi, konflik antar-agama, dan kebencian antar-golongan, sebagai aspek krusial yang dapat memecah belah bangsa. Atau, dugaan kedua, Pasangan Ini memfokuskan perhatiannya pada aspek-aspek lain yang dianggap lebih krusial, sektor ekonomi dan politik, misalnya. Namun, sayangnya kami belum sempat dan mungkin belum bisa mewawancarai pasangan ini sehingga kebenaran dua dugaan kami belum bisa di buktikan.

Mari kita beralih pada pasangan nomor dua, Jokowi-Ahok Jusuf Kalla, selanjutnya disebut sebagai “Pasangan Itu”. Pasangan beda usia ini memulai visi-misinya bukan dengan basmalah atau salam lintas agama, tetapi dengan menjelaskan tiga permasalahan pokok bangsa ini yang salah satunya adalah merebaknya intoleransi dan krisi kepribadian bangsa.[13] Dalam visi-misi dan program kerja sepanjang 42 halaman yang dirangkum dalam sembilan agenda prioritas, Pasangan Itu melihat negara telah gagal dalam mengelola perbedaan dan keberagaman. Selain itu, globalisasi telah menyeragamkan identitas yang menuntut setiap individu untuk mencari identitas primordial sebagai representasi simboliknya.[14] Merujuk pada visi-misi mereka, masalah ini akan ditanggulangi dengan dua hal. Pertama, merevolusi karakter bangsa dengan pendidikan (agenda ke-8).[15] Kedua, memperteguh ke-Bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial di Indonesia, dengan menciptakan ruang-ruang dialog, pendidikan ke-Bhineka-an, dan penegakan hukum (agenda ke-9).[16] Bagi Pasangan Itu, nilai-nilai ke-Bhineka-an dipahami sebagai kerangka berpikir yang mampu membangun interaksi antar-kelompok, golongan, dan agama, dalam penghormatan dan penghargaan terhadap yang lain.[17]

Disini Pasangan Itu mampu untuk menjabarkan secara gamblang hal-hal apa saja yang akan mereka lakukan untuk mengatasi masalah intoleransi. Dalam analisis teoritik yang kami gunakan, ruang-ruang dialog yang dibangun dari kerangka ke-Bhineka-an yang dipahami oleh Pasangan Itu dapat memberikan dampak yang cukup signifikan bagi peningkatan toleransi di Indonesia. Dialog lintas agama akan menghilangkan prasangka dan ekslusivitas sebuah golongan, yang efeknya dapat mengurangi konflik komunal. Dalam visi-misinya dapat kita katakan Pasangan Itu menyediakan kerangka yang mampu mengatur dan mengkontrol ikatan-ikatan komunal. Sedangkan revolusi dan rekonstruksi sosial yang di agendakan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat terkait keberagaman. Namun, tim ini tidak melihat penguatan badan representatif sebagai salah satu sarana untuk mengurangi intoleransi dan konflik komunal. Padahal posisinya sebagai kelompok yang dapat mewakili masyarakat akan sangat penting untuk menentukan kepentingan bersama dan memperbaiki hubungan antara masyarakat dan negara. Kekurangan ini tentu saja mengurangi kematangan agenda yang katanya disediakan untuk problem pokok bangsa Indonesia.

Disamping segala rancangan visi misi dan kaitannya dengan hubungan negara-masyarakat, ada satu hal penting yang patut diperhatikan lebih; bagaimana posisi masyarakat sebagai seorang manusia di mata para capres dalam mengambil kebijakan terkait intoleransi. Boleh jadi, jika pun ada dan komprehensif, kebijakan yang dibuat akan selalu menuju pada usaha penyelesaian masalah intoleransi antar komunal. Namun, setiap penyelesaian tersebut sudah seharusnya turut menjamin terpenuhinya hak setiap warga negara sebagai seorang manusia yang dapat berpikir. Dalam pandangan kami, manusia harus ditempatkan sebagai aktor utama dalam segala keputusan yang dibuat dan agenda politik yang dicanangkan. Sejauh ini pendidikan adalah salah satu proses dan cara yang mampu menempatkan manusia sebagai subjek yang dapat berpikir, dilibatkan, dan memutuskan pilihannya sendiri dalam hidup bermasyarakat. Memang, kedua pasangan tersebut sejauh ini menggunakan pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait toleransi dan keberagaman bangsa. Namun, Prabowo-Hatta belum dapat memberikan gambaran yang jelas tenteng konsep pendidikan yang mereka tawarkan. Sedangkan, Jokowi-JK mampu menjelaskan konsep pendidikan yang dimaksud dan memberikan satu sarana lain yaitu dialog antar agama.

Sesuai dengan kerangka Gerakan Menolak Bodoh, kami meminta anda, pembaca dan mungkin pendukung salah satu calon untuk mulai berpikir ulang. Boleh jadi kita mendukung satu atau bahkan kedua calon, atau mungkin sebaliknya. Namun, semua tidak ada artinya tanpa sebuah pertimbangan dan proses berpikir. Sudah saatnya kita tidak larut dalam opini publik dan sibuk membicarakan berbagai hal yang kita anggapfakta tanpa ada klarifikasi yang akurat. Sudah waktunya Indonesia memiliki pemimpin yang dipilih dengan cara yang cerdas, ingat dengan cara yang cerdas. Dan itu dimulai dari kita.

Kita dan Toleransi

Pada tahap akhir tulisan ini, kami tidak meminta anda mengheningkan cipta atau berdoa untuk mereka yang dicederai haknya sebagai warganegara atau sebagai manusia. Kami juga tidak akan meminta anda berpikir ulang tentang capres yang akan anda pilih, dan juga berbicara soal kacang atom karena itu sudah ada dibagian sebelumnya. Calon-calon presiden bisa saja memberi segala alternatif kebijakan yang mereka anggap mampu untuk mengatasi masalah ini. Bahkan mungkin agenda-agenda yang dibuat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut sudah banyak timbul dan tenggelam dalam dunia politik dan pemerintahan negara ini. Tapi ibarat obat, sehebat apapun obat yang diberikan tidak akan benar-benar manjur jka tidak ada yang meminumnya. Intinya, segala kebijakan yang dibuat Capres Rakyat dan Capres Macan Asia ini tidak akan berhasil jika kita tidak mampu mengolah berbagai prasangka terhadap perbedaan dan tidak mampu menjawab satu pertanyaan: sudah tolerankah kita?

 

Bulaksumur, 21 Juni 2014

Bersama ragu dan sepi yang menjadi-jadi

Tim Penulis Menolak Bodoh

 

 

 

[1] Lihat The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2013

[2] Lihat Setara Institute, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indoneisa; Laporan Pemantauan 2013, http://www.setara-institute.org/id/content/indocators-freedom-religion-and-belief-2013>

[3] Lihat Robert Dahl, (1998), On Democracy, (Virginia: Yale University Press), bab IV

[4] The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2013, bagian D, hlm. 20.

[5]  Bruce A. Robinson, Religious Intolerances: An Introduction, Canada: Ontario Consultants on Religious Tolerancehttp://www.religioustolerance.org/relintol1.htm. diakses pada 10 Juni 2014

[6] Hubungan komunal dalam tulisan ini berarti hubungan yang didasarkan pada identitas keagamaan, suku, ras, dan etnis

[7] Olle Tornquist, “Introduction: The Problem Is Representation! Toward an Analytical Framework”, Olle Tornquist, Neil Webster, dan Kristian Stokke, (2009), Rethinking Popular Representation, (New York: Palgrave Macmillan), hal. 5

[8] Ashutosh Varshney, (2002), Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslim in India,(New Heaven: Yale University Press), hal. 12

[9] Badan-badan representatif yang dimaksud Tornquist bukan lembaga perwakilan seperti DPR atau DPRD, tetapi kelompok-kelompok masyarakat yang mampu mewakili suara masyarakat seperti partai politik, lemabaga agama, lemabaga adat, dan kelompok-kelompok seperti serikat buruh.

[10] Olle Tornquist, hal. 11

[11] Ashutosh Varshney, hal 9-10.

[12] Dapat di download dengan search engine apapun di leptop anda denga keyword “visi-misi Prabowo-Hatta” asalkan terkoneksi dengan internet.

[13]             Dapat di download dengan search engine apapun di leptop anda denga keyword “visi-misi Jokowi-JK” asalkan terkoneksi dengan internet.

[14]             Visi-Misi Jokowi-JK, Hal. 2

[15]             Visi-Misi Jokowi-JK, Hal 10

[16]             Visi-Misi Jokowi-JK, Hal 11

[17]             Visi-Misi Jokowi-JK, Hal 41

 

Categories:

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.