Dema KM Fisipol UGM

Pada 9 Juni 2014 yang lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita, Muhammad Nuh, menetapkan Peraturan Menteri No. 49 tahun 2014. Salah satu poin menarik dari Permen itu ialah keberadaan pasal 17 ayat (3) yang mengatur lama waktu studi. Bagi mahasiswa strata satu, masa kuliah diatur berkisar antara empat hingga lima tahun.

Lewat pasal ini, masa studi mahasiswa diperpendek. Mahasiswa S-1 memiliki masa kuliah maksimal hingga tujuh tahun sebelum Permen ini keluar. Artinya, mahasiswa akan dikeluarkan jika ia tak sanggup lulus tujuh tahun. Dengan diperpendeknya masa studi, maka mahasiswa S-1 akan drop out jika ia tak bisa lulus dalam lima tahun.

Mengapa masa studi diperpendek? Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Djoko Santoso menyebutkan, tindakan ini dilakukan agar mahasiswa tidak mengalami gangguan dalam hal kurikulum. Kurikulum pendidikan tinggi secara teratur dievaluasi tiap empat tahun. Jika seseorang kuliah selama tujuh tahun, menurut Djoko, mahasiswa itu bisa mengalami dua kurikulum berbeda selama berkuliah dengan masing-masing kurikulum sepanjang 3-4 tahun. Dengan memperpendek masa studi jadi maksimal lima tahun, mahasiswa itu paling banyak akan menerima kurikulum berbeda selama satu tahun.

Di samping itu, Djoko menyebutkan sederet manfaat dari pemangkasan masa studi ini: (1) biaya kuliah bisa dihemat (2) mahasiswa terdorong lebih keras belajar (3) akses terhadap pendidikan tinggi bisa lebih luas karena tidak ada “antrean” mahasiswa (Jawa Pos, 14 Agustus 2014).[1] Wakil Rektor 1 ITS, Herman Sasongko, berpendapat, kebijakan ini bisa jadi diambil demi efisiensi anggaran pemerintah yang menanggung sebagian tanggung jawab finansial mahasiswa (JPNN, 14 Agustus 2014).[2]

Respon

Dalam menyikapi kebijakan ini, mahasiswa punya banyak respon. Di satu sisi, kita bisa temukan mereka yang menolak kebijakan ini dengan berbagai alasan. Mulai dari sulitnya lulus lima tahun hingga kemungkinan melemahnya pergerakan. Di sisi yang lain, kita bisa melihat mereka yang pro atau setidaknya tidak menemui masalah dengan kebijakan ini. Alasannya, bagi mereka, lulus di bawah lima tahun bukan hal susah. Bahkan, menurut mereka, dalam jangka waktu lima tahun, seorang mahasiswa bisa aktif ikut di berbagai organisasi, punya IPK 4.0, ikut pertukaran pelajar, buka usaha, plus jadi idola.

Terlepas dari dua posisi yang berseberangan di atas, kedua posisi itu punya logika yang mirip: mereka mengukur kebijakan pemerintah ini berdasarkan seberapa jauh mereka diuntungkan atau dirugikan. Pendekatan ini tidak salah. Hanya saja, efeknya, diskusi akan berkutat pada hal-hal yang terlalu sempit. Kelompok yang pro, misalnya, seringkali menggeneralisasi pengalaman pribadinya sebagai mahasiswa-sukses-lulus-cepat untuk menilai semua mahasiswa. Kelompok yang kontra juga menggunakan pengalaman pribadinya sebagai mahasiswa-yang-hidup-di-sekre untuk melihat semua mahasiswa. Problemnya adalah: mahasiswa itu tidak satu jenis. Mahasiswa itu luar biasa banyak ragamnya. Ada begitu banyak narasi ideal tentang bagaimana mahasiswa seharusnya. Mana yang benar atau salah akan ditentukan oleh pikiran Anda sendiri; bukan oleh orasi aktivis kampus, buku-buku pergerakan yang berserak di perpustakaan, atau pembicara bimbingansoft skill.

Maka, alih-alih menggunakan cara pandang mahasiswa untuk melihat kebijakan ini, mari kita coba balik logikanya. Pertanyaannya pun berubah menjadi: Bagaimana kebijakan ini memandang mahasiswa? Bagaimana mahasiswa digambarkan, diatur sekaligus diharapkan lewat kebijakan ini? Dengan kata lain: Bagaimana negara melihat kita? Apa yang dibebankan negara dari kita? Untuk apa kita dididik? Mahasiswa ideal macam apa yang diharapkan negara?

 

Mahasiswa

Ada cukup banyak literatur yang membahas topik ini. Umumnya, ada dua aspek yang diharapkan negara dari generasi mudanya. Pertama, generasi muda diharapkan menjadi pewaris nilai dan tradisi generasi tua yang tengah mengontrol negara (Giroux, 2009). Kedua, negara merancang generasi muda sebagai ‘pekerja masa depan’ (Lewis, 2006). Dalam narasi klasik, generasi muda adalah fase dimana mereka dipersiapkan untuk bekerja ketika dewasa, untuk kemudian beristirahat ketika tua (Leccardi, 1996). Dengan mempersiapkan generasi muda sebaik mungkin, negara akan mampu mempertahankan daya kompetisinya di pasar ekonomi global di hari depan (Lewis, 2006, Lister, 2006). Ringkasnya, anak muda adalah investasi (Clarke, 2010).

Kembali ke topik awal: bagaimana negara melihat mahasiswa? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita tak boleh hanya membaca Permen No. 49/2014. Kesalahan diskusi kita selama ini adalah karena kita terlalu fokus pada Permen ini tanpa membaca konteks lebih luas yang melatarinya. Jangan melihat Permen ini sebagai suatu fenomena besar yang berdiri sendiri. Alih-alih demikian, Permen ini hanyalah bagian dari fenomena yang lebih besar.

Pertama, mari membaca bagaimana negara memahami “anak muda”. UU No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan menyebutkan bahwa pemuda adalah mereka yang berumur 16-30. Di sini, kita bisa temukan banyak narasi ideal tentang pemuda: bersemangat, suka berjuang, sukarela, bertanggungjawab, ksatria, kritis, idealis, inovatif, progresif, dinamis, reformis dan futuristik. Yang menarik adalah, di satu sisi, negara ingin agar pemuda menjadi sosok profesional yang siap bekerja dan, di sisi lain, aktif berorganisasi serta mampu mengadvokasi masyarakat di sekitarnya. Hal ini menarik karena, setidaknya dalam pandangan mahasiswa umumnya, dua hal ini___menjadi pekerja profesional dan menjadi aktivis___adalah dua hal yang tak bisa didamaikan.

UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menuliskan bahwa  mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi. Mahasiswa dibebaskan untuk memilih, entah untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi dan/atau profesional, dengan syarat tetap menjunjung nilai agama dan bangsa. Dalam UU No. 12 tahun 2012,mahasiswa___sebagai seorang sivitas akademika___juga diharapkan menjadi sosok yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing dan kooperatif; mampu memenuhi kepentingan nasional dan meningkatkan daya saing bangsa.

Berbeda dengan spirit UU No. 40 tahun 2009, regulasi pendidikan tinggi kita tidak secara khusus berusaha merancang pemuda yang advokatif. Kemampuan berpikir kritis pun tidak secara khusus dijadikan salah satu tugas maupun fungsi pendidikan tinggi. Berpikir kritis, menurut UU No. 12 tahun 2012, bisa dipelajari lewat organisasi mahasiswa.

Gambaran mahasiswa ideal versi negara juga dapat kita lacak lewat berbagai komentar Mendikbud kita, Muhammad Nuh. Nuh, dalam suatu kesempatan, menekankan bahwa Indonesia membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar pada tahun 2030 sehingga akses pendidikan kita harus diperluas (Kemdikbud, 3 Januari 2013). Namun, Indonesia tidak boleh menyediakan tenaga kerja murah. Tenaga kerja harus terampil dan mampu bersaing secara global. Dalam bahasa Nuh, tenaga kerja kita tak boleh hanya jadi “pendukung pertumbuhan ekonomi”, namun juga harus mampu “membuat terobosan dan inovasi”. Semua itu, menurut Nuh, diperlukan agar Indonesia menjadi “yang terbaik di dunia” (Okezone, 26 Oktober 2013).

Di titik ini, kita sebenarnya sudah bisa menarik, secara umum, bagaimana negara melihat mahasiswa. Bagi negara, mahasiswa perlu dididik demi kebesaran dirinya di masa depan. Hanya saja, negara berpendapat bahwa tujuan itu bisa dicapai lebih baik jika mahasiswa dibekali kemampuan-kemampuan yang mampu membuatnya bersaing dalam perekonomian global. Secara sistematis, kita bisa pilah gambaran ini jadi dua poin: (1) negara bertujuanmenciptakan pemuda yang mampu memperkuat negara dan (2) negara berusaha mencapai tujuan itu dengan menciptakan pemuda ideal versi negara, yaitu pemuda yang bisa bersaing di kancah pasar ekonomi global. (Tentu kita masih bisa berdebat lebih jauh apakah negara melakukan itu semua untuk kepentingan dirinya sebagai negara, atau untuk kepentingan segelintir orang dan kemudian dibungkus dengan nama ‘kepentingan nasional’).

Epilog

Problem kuliah lima tahun bisa kita lihat dalam terang logika di atas. Permen ini dapat kita lihat sebagai representasi kecil dari logika lebih besar yang melatarbelakanginya: mahasiswa ideal versi negara adalah mahasiswa yang kuliahnya cukup lima tahun, bukan tujuh tahun atau lebih. Artinya, bagi negara, lima tahun adalah waktu yang cukup untuk mencetak pemuda yang punya daya saing global. Terlebih, negara dihadapkan pada keterbatasan sumber daya. Dengan target 113 juta tenaga kerja terampil tahun 2030, sementara tahun 2012 saja kita baru memiliki 55 juta tenaga kerja (Kemdikbud, 3 Januari 2013), negara dituntut menekan ‘modal’ yang diperlukan untuk mencetak seorang tenaga kerja terampil sehingga negara bisa mencetak lebih banyak tenaga kerja terampil dengan modal yang sama. 

Masalah dari kebijakan negara macam ini adalah kecenderungannya untuk melihat pemuda atau mahasiswa sebagai kategori yang homogen. Dengan membuat satu versi ideal tentang generasi muda, maka negara praktis tidak memberi ruang yang sama bagi versi pemuda ideal lainnya; termasuk pada versi-versi yang sebenarnya berangkat dari aspirasi pemuda itu sendiri. Ada pemuda yang memang punya mimpi sejalan dengan mimpi negara, tetapi tentu saja ada yang tidak demikian. Berbeda dengan mimpi pemuda yang sejalan dengan negara (yang tentu didukung oleh sumber daya negara sepenuhnya), mimpi-mimpi alternatif yang dimiliki pemuda lain harus dihidupi sendiri oleh pemuda itu.

Hal ini tentu saja berresiko. Tiap orang memiliki hak untuk menentukan arah masa depannya sendiri. Ia bebas menulis impiannya sendiri. Tugas negara, sebenarnya, adalah menghidupi setiap bibit-bibit mimpi itu agar semuanya tumbuh besar dan subur; bukan mengkategorisasikannya ke dalam satu keranjang karena negara mengklaim bahwa ia tahu apa yang paling baik bagi anak-anak mudanya.  Kita tahu, sejarah sering bergerak bukan karena perencanaan yang rapi dan terpadu, melainkan justru dari spontanitas dan keberagaman. Dan, terlebih lagi, siapa pemilik masa depan itu jika bukan mereka yang sekarang masih muda? Jika skenario masa depan itu bahkan sudah diatur oleh undang-undang, lantas apa yang tersisa bagi anak-anak muda itu untuk dilakukan? Apakah mereka masih bisa disebut menggoreskan sejarah jika sejarah itu sejak awal sudah direncanakan?

Maka, apa mimpimu?**

Departemen Kajian Strategis

Dewan Mahasiswa Fisipol UGM

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Buku dan Berita

Clarke, John, “The Origins of Childhood”, Key Issues in Childhood and Youth Studies, ed. Derek Kassem et. al, Oxon: Routledge, 2011.

Giroux, Henry, Youth in a Suspect Society, New York: Palgrave MacMillan, 2009.

Jawa Pos, Kuliah S-1 Maksimal Lima Tahun, 14 Agustus 2014,http://www.jawapos.com/baca/artikel/5789/Kuliah-S-1-Maksimal-Lima-Tahun, diakses 24 Agustus 2014.

JPNN.com, Kuliah Sarjana Paling Lama Lima Tahun, 14 Agustus 2014,http://www.jpnn.com/read/2014/08/14/251664/Kuliah-Sarjana-Paling-Lama-5-Tahun-, diakses 24 Agustus 2014.

Kemdikbud, Strategi Pendidikan Menyiapkan Tenaga Terampil, 3 Januari 2013,http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/node/1085

Leccardi, Carmen, ‘Facing Uncertainty: Temporality and Biographies in the New Century’, A New Youth: Young People, Generations and Family Life, Hampshire: Ashgate, 1996.

Lewis, Jane, “Introduction”, Children, Changing Families and Welfare State, Massachussets: Edward Elgar, 2006.

Lister, Ruth, “An Agenda for Children”, Children, Changing Families and Welfare State, Massachussets: Edward Elgar, 2006.

Okezone, Mendikbud: Masa Depan Ada di Tangan Generasi Penerus, 26 Oktober 2013,http://kampus.okezone.com/read/2013/10/26/373/887439/mendikbud-masa-depan-ada-di-tangan-generasi-penerus

Dokumen Resmi

UU No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan

UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

Peraturan Menteri No. 49 tahun 2014.

 

[1] Jawa Pos, Kuliah S-1 Maksimal Lima Tahun, 14 Agustus 2014,http://www.jawapos.com/baca/artikel/5789/Kuliah-S-1-Maksimal-Lima-Tahun, diakses 24 Agustus 2014.

[2] JPNN.com, Kuliah Sarjana Paling Lama Lima Tahun, 14 Agustus 2014,http://www.jpnn.com/read/2014/08/14/251664/Kuliah-Sarjana-Paling-Lama-5-Tahun-, diakses 24 Agustus 2014.

 

Categories:

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.