Dema KM Fisipol UGM

Mengantar Sebuah Pembuka

Pemilu presiden makin dekat. Sebagian mahasiswa masih tenang-tenang saja. Sebagian sudah tidak tenang. Kami berdiri di antara keduanya. Di antara tenang dan tak tenang. Di antara santai dan resah. Mari kita mulai dari pertanyaan: mengapa kami masih agak tenang?

Alasannya sederhana: hari ini, perbincangan politik makin marak dimana-mana. Di kantin kampus, kita bisa temukan dua sejoli yang berbincang tentang masa depan negeri dan kisah cinta mereka. Di media sosial, kita melihat debat-debat terjadi dengan hebat. Di sana dan di sini, nama Prabowo Subianto (peternak kuda) dan Joko Widodo (pedagang mebel) disebut begitu sering. Kadang dengan semangat. Kadang dengan analisis yang tajam. Kadang dengan benci.

Diskusi pada dasarnya adalah positif. Itu tanda orang-orang mulai tertarik pada politik. Orang-orang mulai melihat politik sebagai sesuatu yang penting. Politik tak lagi asing. Politik tak lagi sepenuhnya menjijikkan. Politik tak lagi membawa kegelapan. Justru, lewat politik, orang-orang mulai melihat cahaya di ujung lorong. Tetapi, cahaya apa yang sesungguhnya kita cari; kita tuju? Matahari, nyala petromaks, atau api neraka?

Di titik ini, kita harus mulai menjawab pertanyaan kedua: mengapa kami resah? Mengapa kita harus resah? Untuk menjawab pertanyaan ini, alasannya tak bisa sederhana.

Ada kemampuan berpikir yang turun jauh di berbagai kalangan. Termasuk mahasiswa. Ada banyak gerakan dipaksa lahir demi citra lembaga dan nama baik universitas. Tetapi, seberapa banyak gerakan yang punya nalar, data dan analisis yang sehat? Mahasiswa, menurut sebuah legenda, adalah intelektual yang konon memiliki daya pikir tajam. Hal itu sukar ditemui hari ini. Termasuk di dalam tulisan-tulisan kami sendiri. Kita kurang baca buku teoritik. Kita justru lebih suka baca buku motivasi dan Kompasiana untuk menimba ilmu. Banyak mahasiswa, akhirnya hanya bicara hal normatif dan permukaan. Kita terlalu rajin melakukan klaim kebenaran tanpa membuktikannya. Euforia, data palsu, sentimen sektarian dan kebencian bercampur dalam satu gelas. Kita larut dalam opini publik yang hari ini tak jelas rasanya: mirip campuran kopi dengan semen.

Di titik inilah kita sebetulnya butuh sebuah sikap, ajakan dan analisis tandingan. Sebuah cara pandang yang berbeda dari media-media propaganda dan mampu keluar dari jerat opini hegemonik. Jika mahasiswa memang punya tugas historis, inilah tugas kita. Masalahnya, maukah kita? Atau jangan-jangan, otak kita sudah terlalu kosong untuk melakukan tugas itu?
    
Gerakan Menolak Bodoh kali ini berangkat dari kekhawatiran di atas. Di satu sisi, ketertarikan kita yang besar terhadap gonjang-ganjing politik meningkatkan kepedulian kita. Namun, di lain sisi, ketiadaan nalar kritis, propaganda media massa yang terlampau kuat, mahasiswa asal long march, hingga rasa benci yang mendarah daging membuat kepedulian itu bisa jadi sia-sia. Barangkali, semuanya sudah terlalu terlambat tahun ini. Namun, masih lebih baik terlambat bertahun-tahun daripada terlambat berpuluh-puluh tahun.

Kemanusiaan

Ada nilai yang luput kita perhatikan menjelang pilpres ini: kemanusiaan. Mengakui kemanusiaan adalah mengakui kapasitas dan potensi manusia untuk menentukan sikapnya sendiri. Artinya, jika kita mengakui kemanusiaan, manusia memiliki kemampuan untuk berpikir mandiri dan menentukan sikap secara independen tanpa harus disuplai ‘kebenaran’ dari ‘orang yang lebih tahu’.
    
Dengan demikian, maka tugas mahasiswa pun berubah agak jauh. Kita tak lagi menjadi resi yang mewartakan kebenaran. Kita justru menjadi ‘bidan’ yang mengajak dan membantu orang-orang untuk melahirkan gagasan mereka sendiri. Tak apa jika gagasan mereka ‘aneh’, ‘memiliki problem teoritik’ atau ‘tak runtut dalam berlogika’. Yang terpenting bukanlah apa gagasan mereka, melainkan proses yang mereka lalui dalam membentuk gagasan itu. Entah apapun pilihan mereka, golput/tukang mebel/peternak kuda, itu adalah sikap yang mereka pilih sendiri sebagai manusia. Sebagai subyek. Bukan obyek.
    
Gerakan Menolak Bodoh (GMB) mengambil sikap tersebut. Bukan tugas GMB untuk merumuskan sikap yang harus diikuti oleh orang. GMB hanya akan memantik api kritisisme di dalam kepala seseorang. Apakah api itu akan dipadamkan atau disiram dengan bensin adalah pilihan yang harus ditentukan oleh si empunya kepala. Bahkan, jika Anda berpendapat bahwa berpikir itu tidak baik, adalah hak Saudara untuk memutuskan demikian. (Walaupun untuk memutuskan tidak berpikir, seseorang sebenarnya pasti berpikir lebih dulu).
    
Kami juga akan melakukan kajian sederhana terhadap pemikiran, visi, misi, program, komentar hingga iklan para capres-cawapres. Dalam kajian tersebut, nilai kemanusiaan tetap akan menjadi patokan penilaian kami. Apakah seorang calon sudah dan berencana memperlakukan rakyat sebagai manusia? Menculik orang dan memaksanya tidur di atas balok es adalah tindakan tak manusiawi. Membungkam pemikiran dan perkataannya tidaklah manusiawi. Membiarkannya tak terdidik tak manusiawi. Membuatnya miskin tidak manusiawi. Membiarkannya jalan kaki 10 km tiap pagi dan sore untuk berangkat dan pulang sekolah juga tidak. Kemanusiaan punya spektrum yang amat luas karena ada banyak kondisi yang bisa membuat manusia tidak berani maupun tak maksimal dalam berpikir dan memutuskan hidupnya sendiri. Bagaimana bisa seseorang mengkritik pemerintah jika ia diancam dengan teror? Bagaimana seseorang bisa berpikir bila ia tak terdidik sepenuhnya? Bagaimana manusia bisa bebas jika ia terperangkap kemiskinan dan ketakutan?
    
Meski demikian, kami tak akan menentukan apa opsi sikap yang paling baik. Bukan karena kami sepenuhnya netral. Kami tak netral. Manusia tak bisa netral. Tak ada gunanya mengaku netral. Tim penulis GMB terdiri dari berbagai orang dengan sikap politiknya masing-masing. Ada yang berjanji golput. Ada yang pro-peternak kuda. Ada yang sangat suka pedagang mebel. Kami tak menentukan opsi terbaik bukan karena kami netral. Namun karena opsi terbaik harus dipilih oleh masing-masing individu secara mandiri. Bukan oleh kami.
    
Untuk mendukung sikap itu, kami akan menerbitkan rangkaian tulisan yang bicara banyak hal: mulai dari masalah Hak Asasi Manusia (HAM), slogan capres, nasionalisme/fasisme, politik luar negeri hingga olahraga. Harapannya, dengan rangkaian itu, orang-orang memperoleh provokasi dan bantuan perspektif untuk berpikir dan memutuskan. Jika setelah membaca dan berpikir seseorang memutuskan untuk mandi dan mengecat tembok kamar kos, kita harus hargai keputusannya.
    
Menutup Sebuah Pembuka

Dalam pilpres ini dan tahun-tahun sesudahnya, kita semua akan diuji. Apakah demokrasi kita bisa langgeng? Apakah ‘bhineka tunggal ika’ sungguh-sungguh punya makna di negeri ini? Jangan gadaikan perdamaian negeri ini hanya karena berdebat capres mana yang paling tidak buruk. Ini bukan perang. Aktifkan otak kita agar kita bisa berpikir dengan baik. Aktifkan hati kita agar kita bisa merasa dengan lembut. Ketika otak dan hati mulai panas, segera pergi ke burjo terdekat. Belilah segelas es teh dan siramkan ke kepala.

Kita perlu ingat bahwa rakyatlah yang memiliki negara; bukan negara yang memiliki rakyat. Rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Bukan para elit. Menggadaikan harga diri untuk mencuri perhatian elit adalah tindakan yang terbalik jika kita berniat menggapai demokrasi jangka panjang.

Nantikan tulisan kami.**

Bulaksumur, 5 Juni 2014
Bersama malam yang makin larut
Departemen Kajian Strategis
Dewan Mahasiswa FISIPOL UGM

Categories:

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.