Dema KM Fisipol UGM

Tempo hari (11/1), masa kampanye legislatif resmi dibuka. Meskipun nyaris semua partai mencuri start, masa kampanye yang baru akan usai tanggal 5 April 2014 nanti akan tetap menarik untuk diamati. Masa kampanye yang dimulai dari tanggal 11 Januari masih merupakan tahap kampanye tertutup lewatsarasehan, diskusi atau dialog. Sedangkankampanye terbuka baru dimulai tanggal 16 Maret nanti. Namun, jika kita berkaca dari televisi yang sudah penuh tarian dan jargon politik, aturan KPU itu nampaknya tak akan banyak berpengaruh.

Penting tidaknya kampanye akan bergantung pada seberapa banyak dari kita yang belum memilih. Menurut survei Kompas Desember 2013, hanya 11% dari kita yang belum punya pilihan. Sebagai perbandingan, Lingkaran Survei Indonesia menyebutkan angka 19,4%[1] sementara IndoBarometer menuliskan angka 35,8%[2]. Angka yang relatif masih tinggi ini menyebabkan kampanye akan jadi pertarungan yang sengit untuk memperebutkan hati pemilih. Kita akan banyak melihat drama dan komedi dalam beberapa bulan ke depan.

Oleh karena itu, ada baiknya kita bersiap-siap. Dewan Mahasiswa FISIPOL UGM akan memberikan sejumlah kiat. Mari siapkan payung untuk menghadapi hujan yang akan turun. Mari siapkan segelas kopi susu (tak perlu mahal) untuk teman menonton setiap dagelan. Mari siapkan alat yang bisa meramal bentuk kucing meski ia masih ada di dalam karung. Mari memilih yang terbaik. 2014 tak akan terulang dua kali.

Apa yang Perlu Kita Waspadai?

         Waspadai selubung politik uang. Politik uang berbahaya karena merusak legitimasi pemilu, melanggengkan daur ulang korupsi dan terpilihnya kandidat dengan kualitas rendah. Politik uang tak cuma identik dengan “serangan fajar”. Berkaca dari laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang Pilkada Jakarta tahun 2012 yang lalu, modus operandi politik uang sangat beragam, mulai dari pemberian uang, pembagian sembako, pemberian ambulan sampai tamasya gratis.[3]  Politik uang juga bisa masuk lewat bantuan pembangunan infrastruktur atau bantuan untuk acara RW. Bisa jadi, nantinya juga akan ada pembagian smartphone gratis.     Sayangnya, masih terlalu banyak pemilih yang toleran terhadap politik uang. Menurut suvei Indikator Politik Indonesia, 41,5% responden masih menganggap politik uang sebagai hal wajar.[4] Berdasar UU No. 3 Tahun 1999 pasal 73 ayat 3, pelaku politik uang bisa dipenjara paling lama tiga tahun. Hal serupa juga akan menimpa si penerima. Maka, sikap kita jelas: Tolak uangnya. Tolak calonnya. Laporkan ke pihak berwenang. Doakan semoga Tuhan membalasnya dengan setimpal dan mengembalikannya ke jalan yang lurus!

         Waspadai peminggiran isu. Di dalam kampanye, ada tendensi di mana sebuah isu akan lebih menonjol di atas isu-isu lain.[5] Isu itu lantas akan menjadi “arena” debat para peserta pemilu untuk menunjukkan keunggulan di atas pesaing-pesaingnya. Kita tak perlu menggunakan otot untuk ikut berdebat di Twitter 24 jam sehari. Sebab, isu yang penting buat kandidat belum tentu merupakan isu yang penting bagi bangsa. Biarkanlah polemik itu berjalan dengan sendirinya. Kita hanya perlu mengamati polemik itu untuk mencari tahu apa perbedaan partai A dengan partai K. Sebaliknya, kita justru perlu menaruh perhatian pada isu yang tak menonjol. ASEAN Community, BPJS, penyerobotan tanah, ekspansi lahan sawit atau isu klasik kesejahteraan buruh adalah segelintir isu yang tak boleh dilupakan hanya karena tertutup gegap gempita kampanye.

         Waspadai informasi yang diberikan. Semua orang bisa mengklaim___sambil memajang foto manis: “Saya adalah pembela HAM”, “Saya adalah suara rakyat”, atau “Saya mewakili rakyat kecil”. Tugas kita yang pertama dalam menghadapi jargon-jargon ini ialah tidak mempercayainya. Namun, idealnya kita tak hanya berhenti di sana. Kita bisa menyelidiki track record sang kandidat atau partai yang mengusungnya. Jika informasi yang diberikan rupanya terverifikasi, maka tak ada salahnya untuk percaya. Kita patut khawatir pada lahirnya calon-calon yang seolah-olah tak punya sejarah. Manusia tentu saja bisa berubah jadi lebih baik___siapa yang bilang tidak? Akan tetapi, pribadi yang baik tentu tak akan melupakan tanggung jawab masa lalunya. Masa lalu, sepahit apapun itu, tetaplah masa lalu.

 

        Waspadai manipulasi opini publik. Alain Badiou mengkritik demokrasi liberal karena menimbulkan tirani baru bernama “opini publik”.[6] Opini publik, yang bagaimanapun juga adalah opini, kerap dianggap sebagai kebenaran dan dijadikan dasar masyarakat untuk menilai serta menghakimi segala sesuatu. Opini publik jadi seolah benar jika ia direpetisi secara terus-menerus.[7] Jika seluruh televisi bilang Jakarta hanya “tergenang” dan bukan banjir, semua orang akan percaya kalau Jakarta tergenang. Begitu pula sebaliknya. Di tahun 2014 yang sarat kepentingan politik, kekuatan modal dan media akan dengan mudah memanipulasi opini publik. Kita harus berhati-hati dan kritis dalam membaca opini yang berkembang. Jangan mau otak kita dikuasai. Jangan mau hati kita diperalat. Mari kita jaga benak dan hati kita sesehat mungkin.

       Waspadai calon yang jatuh dari langit. Calon yang jatuh dari langit adalah calon yang tak punya kedekatan dan pengetahuan akan konstituen, tetapi tiba-tiba mengklaim memiliki kedua hal itu. Tak jarang, hal ini dikaburkan dengan ilusi “putra daerah”. Embel-embel semacam itu jadi kurang relevan karena yang paling penting ialah pemahaman dan pengetahuan seorang calon terhadap konstituennya. Para elit politik kerap terjebak dalam ketidaktahuan tanpa (mau) menyadari ketidaktahuannya.[8] Akibatnya, pengetahuannya terhadap konstituen adalah pengetahuan dangkal yang berangkat dari asumsi atau stereotip semata. Jika dasar pengetahuannya saja salah, bagaimana bisa kita berharap kebijakannya benar?

       Waspadai konflik di antara kita. Ketidakmampuan partai atau kandidat untuk memperoleh dukungan sering disikapi dengan cara mengambil jalan pintas. Berkaca dari contoh India, partai tidak jarang membangkitkan sentimen kebencian antaragama untuk memancing dukungan.[9]  Sayangnya, sentimen ini tak cuma memancing dukungan tetapi juga memancing konflik. Agama bukan satu-satunya identitas yang bisa dipolitisasi. Masih ada etnis, ras atau ideologi. Hal ironis semacam ini perlu dicegah sekuat tenaga. Tak hanya dengan mengawasi kampanye tetapi juga dengan mengawasi diri sendiri: apakah di dalam diri kita tersimpan bibit kebencian? Jika demikian, mari berhenti merawatnya sebelum orang lain menyiramnya, memberinya pupuk organik dan menumbuhkannya.

       Waspadai hal-hal lain yang belum disebutkan. (Mungkin Anda juga perlu mewaspadai tulisan kami).

Mulai dari Kampus

Ada sejumlah tugas yang perlu kita lakukan sebagai mahasiswa di samping melakukan kritik dan pengawalan terhadap Pemilu 2014. Pertama, kita harus menjaga kampus bebas dari aktivitas politik praktis. Sesuai Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi No: 26/DIKTI/KEP/2002, aktivitas gerakan ekstra kampus dan partai politik tidak diperkenankan masuk kampus. Meskipun mahasiswa mungkin punya sikap pribadinya masing-masing, kampus harus tetap dijaga netralitasnya. Beberapa waktu yang lalu, sempat ada polemik terkait munculnya aktivitas partai politik di Gelanggang Mahasiswa. Terlepas dari niat penyelenggara, kegiatan sejenis di tahun 2014 akan memicu polemik luas yang buang-buang tenaga. Intrusi politik praktis ke dalam kampus akan membahayakan kredibilitas akademik kampus dan mahasiswa.

Kedua, mahasiswa dapat menginklusifkan diri dengan masyarakat. Mahasiswa tak perlu menjadi “pakar pemilu 2014”. Mahasiswa dapat menjadi rekan ngobrol bapak angkringan atau menjadi blogger yang mengulas pemilu secara jenaka supaya anak-anak SMA tertarik membacanya. Yang terpenting bukan memberi tahu masyarakat, akan tetapi mengajak masyarakat memutuskan sikap sendiri.

Terakhir, kita semua tak perlu merasa jijik dengan politik. Inti substansi politik bukan terletak pada kedurjanaannya.[10] Politik adalah soal memperjuangkan tujuan. Jika kita memiliki visi yang baik tentang Indonesia, politik tak pelak adalah salah satu saluran paling logis untuk mewujudkannya. Tujuan yang baik adalah lawan paling kuat dari tujuan yang buruk. Jika mereka yang bertujuan baik tak mau menggunakan kekuatannya, jangan harap tujuan yang buruk akan terkalahkan. Pemilu 2014 adalah salah satu arena terbesar di mana dua kekuatan itu saling berkonfrontasi.

Kita perlu ingat: sejak awal, negara, partai, badan perwakilan atau presiden bukanlah pemegang kekuatan terbesar. Rakyat dan selalu rakyatlah yang memegang kekuatan sebenarnya. Rakyat selalu bisa mengatur arah negeri ini. Rakyat selalu bisa menggerakkan negeri ini. Kita hanya terlalu sering tidak menyadarinya.

 

Departemen Kajian Strategis

Dewan Mahasiswa FISIPOL UGM[11]

 

 

[1] Lingkaran Survei Indonesia, Indeks Capres Pemilu 2014: Capres Riil versus Capres Wacana, Oktober 2013, hlm. 17.

[2] Indobarometer, Political Outlook 2014: Pilihan dan Kemungkinan Capres dan Cawapres Pemilu 2014, Desember 2013, hlm. 12.

[3] Arfi Amri dan Oscar Ferri, “ICW: 27 Modus Politik Uang Pilkada Jakarta”, 8 Juli 2012, Vivanews, http://metro.news.viva.co.id/news/read/333739-icw–27-modus-politik-uang-pilkada-jakarta, diakses 12 Januari 2014.

[4] Indikator Politik Indonesia, “Laporan Konpers Rilis Survei Sikap dan Perilaku Pemilih Terhadap Money Politics”, 12 Desember 2013, http://indikator.co.id/news/details/1/41/Laporan-Konpers-Rilis-Survei-Sikap-dan-Perilaku-Pemilih-terhadap-Money-Politics-, diakses 12 Januari 2014.

[5] Hal ini disebut sebagai “priming” di mana isu yang menonjol akan menjadi sarana identifikasi dukungan pemilih

[6] Alain Badiou, Metapolitics (London: Verso, 2005), hlm. 78.

[7] Francis Bacon menyebutnya “idol of theatre”, di mana hal yang tak jelas nilai kebenarannya diulang terus-menerus sehingga dipercayai sebagai kebenaran. Wittgenstein menyebut fenomena sejenis dalam analogi “beetle in the box”. Jika semua orang bilang ada kumbang di dalam kotak korek api dan terus mengulang pernyataan itu tiap hari, semua orang akan percaya bahwa benar-benar ada kumbang di dalamnya. Terlepas dari apakah isi sesungguhnya merupakan uang receh atau elang.

[8] Dalam terminologi WF Wertheim, hal ini disebut sebagai sociology of ignorance. Lihat, WF Wertheim, Elite vs Massa (Yogyakarta: Resist Book, 2008).

[9] Marc Gaborieau, “Konflik Hindu-Muslim di India dalam Perspektif Sejarah”, dalam D. Anwar, dkk (eds.), Konflik Kekerasan Internal, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 29.

[10] Kritik sejenis diutarakan oleh Alain Badiou. Menurutnya, menggunakan landasan etik semata untuk menilai politik adalah hal yang kurang tepat. Sebab, etika sendiri sering dipengaruhi opini publik yang nota bene mudah diatur. Politik, menurutnya, ialah soal menciptakan “patahan epistemologis” di mana sebuah pertanyaan baru diajukan untuk mengubah status quo menuju arah yang ideal. Lih. Alain Badiou, Metapolitics.

[11] Gambar pertama, kedua dan ketiga diambil dari Nobody Corp. Internationale.

Categories:

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.